PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Batang
Tubuh dan Dinamika Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
Kelompok 3:
Fujima Tindaon J3Z414002
Matius Leo Fernando Siahaan J3Z414012
A Septianto J3Z414018

PROGRAM KEAHLIAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
1.
Latar belakang
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keseluruhan naskah yang terdiri dari
Pembukaan dan Pasal-pasal. Pembukaan terdiri dari 4 Alinea. Pasal-pasal terdiri
dari 16 Bab, Bab I sampai dengan Bab XVI, pasal 1 sampai dengan pasal 37.
Setelah amandemen IV, UUD 1945 terdiri dari 20 Bab, Bab I sampai dengan Bab XVI
(Bab IV dihapus), dan 72 pasal, Pasal 1 sampai dengan Pasal 37, ditambah dengan
3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Pembukaan
dan Pasal-pasal merupakan satu kesatuan. Disamping hukum dasar tertulis, di
Negara Indonesia juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu konvensi
sebagai kebiasaan yang hidup dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
kenegaraan.
Sebagai hukum dasar tertulis UUD 1945 mengikat: Pemerintah, Lembaga Negara,
Lembaga Masyarakat, setiap Warga Negara Indonesia, dan setiap Penduduk yang
berada di Wilayah Negara Republik Indonesia.
UUD
1945 bukan hukum biasa melainkan hukum dasar yang merupakan sumber hukum yang
tertinggi, sehingga seluruh hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945. UUD 1945 terbentuk melalui sejarah yang amat panjang melalui pasang
surutnya kejayaan bangsa dan masa-masa penderitaan penjajahan, dan masa-masa
perjuangan untuk merdeka, menentukan sendiri hidup dan masa depannya.
UUD 1945 untuk pertama kalinya diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945,
naskahnya pertama kali dimuat secara resmi dalam Berita Negara yaitu Berita
Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 tanggal 15 Februari 1946.
Pengertian UUD
UUD Negara adalah peraturan perundang-undangan yang
tertinggi dalam Negara dan merupakan hukum dasar Negara tertulis, yang
mengikat, dan berisi aturan yang
harus ditaati. Hukum dasar Negara meliputi keseluruhan system
ketatanegaraan yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk Negara dan
mengatur pemerintahannya.UUD merupakan dasar tertulis (convensi).
UUD
menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan itu bekerja sama dan
menyesuaikan diri satu sama lainnya. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan
dalam suatu Negara. UUD disebutkan bersifat singkat dan super karena hanya
memuat 37 pasal adapun pasal-pasal yang lain, hanya memuat aturan peralihan dan
aturan tambahan. Hal ini bermakna :
a. UUD
1945 hanya memuat aturan pokok, memuat GBHN intruksi kepala pemerintahan pusat
dan lain-lain untuk menyelenggarakan Negara.
b. Sifatnya
yang super atau elastis maksudnya senantiasa harus ingat bahwa masyarakat harus
berkembang seiring dengan perubahan zaman. Memang sifat aturan yang tertulis
semakin supel sifat aturannya semakin baik agar tidak ketinggalan zaman.
2.
Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Pembukaan UUD 1945
Pembukaan
UUD 1945 bersama – sama dengan pasal – pasal UUD 1945, disahkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945, dan diundangkan dalam Berita Republik Indonesia
Tahun II NO.7.
Pembukaan
UUD 1945 terdiri atas empat alinea, pada bagian alinea IV memuat
pernyataan mengenai keadaan setelah Negara Indonesia terbentuk dan memiliki
hubungan yang bersifat kausal dan organis dengan pasal – pasal UUD 1945.
Hubungan
tersebut menyangkut beberapa hal, antara lain :
a. Undang
– undang Dasar ditentukan akan ada
b. Yang
diatur dalam UUD adalah tentang pembentukan pemerintahan Negara
c. Negara
Indonesia adalah bentuk Republik yang berkedaulatan Rakyat
d. Ditetapkannya
Pancasila sebagai dasar falsafat Negara Indonesia
Hal
– hal tersebut “ bersifat fundamental dan asasi bagi Negara Indonesia, sehingga
Pembukaan UUD 1945 berkedudukan tetap dan tidak dapat diubah “
2.2 Dinamika Pelaksanaan UUD
1945
a. Dinamika
Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Awal Kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 29 Desember 1949)
Pada
masa awal kemerdekaan UUD 1945 belum dapat dijalankan sebagaimana yang diatur
mengingat kondisi lembaga negara yang masih belum tertata dengan baik. Faktor
lainnya adalah UUD 1945 masih sangat sederhana karena dibuat dalam waktu yang
sangat singkat kurang lebih 49 hari oleh BPUPKI pada 29 Mei-16 Juli 1945 dan
PPKI tanggal 18 Agustus. Pada tahun ini di bentuklah DPA sementara, sedangkan
DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus melalui pemilu. Waktu itu
masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang menyatakan, “Sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.”
Pada
saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan indonesia yaitu
: berubahnya fungsi Komite Nnasional Indonesia Pusat (KNIP) dari
pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan
ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini berdasarkan maklumat
wakil presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga
maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945. Yang isinya perubahan
sistem pemerintahan negara dari sistem Kabinet Presidensial menjadi
sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Akibat perubahan tersebut pemerintah
menjadi tidak stabil, Perdana Menteri hanya bertahan beberapa bulan serta
berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal
3 November 1945 di keluarkan juga suatu maklumat yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden yang isinya tentang pembentukan partai politik. Hal ini bertujuan
agar berbagai aliran yang ada didalam masyarakat dapat di arahkan kepada
perjuangan untuk memperkuat mempertahankan dengan persatuan dan kesatuan.
Sejak
tanggal 14 November 1945 kekuasaan pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana
Menteri sebagai pimpinan kabinet. Secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri, perdana menteri atau para menteri itu
bertanggung jawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, dan tidak
bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUD 1945. Hal ini berakibat semakin tidak stabilnya Negara Republik
Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan, maupun keamanan.
Semangat ideologi liberal itu kemudian memuncak dengan dibentuknya Negara
Federal yaitu negara kesatuan Republik Indonesia Serikat dengan
berdasar pada konstitusi RIS, pada tanggal 27 Desember 1949.
Konstitusi RIS tersebut sebagai hasil kesepakatan Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda. Syukurlah konstitusi itu
tidak berlangsung lama dan Indonesia kembali bersatu pada tahun 1950.
Dalam negara RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik
Indonesia yang beribukota di Yogyakarta. Kemudian terjadilah suatu
persetujuan antara Negara RI Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya
membuahkan kesepakatan untuk kembali membentuk negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara sejak
17 agustus 1950 isi UUDS ini berbeda dengan UUD 1945 terutama dalam sistem
pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer, sedangkan UUD 1945
menganut sistem Presidensial.
Tugas
konstituante adalah untuk membentuk, menyusun Undang-Undang Dasar yang
tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil putusan mengenai
Undang-Undang dasar yang baru ditentukan pada pasal 137 UUDS 1950 sebagai
berikut :
1.
Untuk mengambil putusan tentang rancangan
Undang-Undang Dasar baru sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota
konstituante harus hadir.
2.
Rancangan tersebut diterima jika disetujui
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
3.
Rancangan yang telah diterima
oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh
pemerintah.
4.
Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu
dengan segera serta mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
Pada kenyataannya konstituante selama dua
tahun bersidang belum mampu
menghasilkan suatu keputusan tentang Undang-Undang Dasar yang baru. Hal
ini dikarenakan dalam sidang konstituante , muncullah suatu usul untuk
mengembalikan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD baru. Oleh karena
itu Presiden pada tanggal 22 april 1959 memberikan pidatonya didepan
sidang Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Hal ini diperkuat
dengan suatu alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan
buntu. Terutama setelah lebih dari separuh anggota Konstituante menyatakan
untuk tidak akan menghadiri sidang lagi.
Atas
dasar kenyataan tersebut maka Presiden mengeluarkan suatu dekrit yang
didasarkan pada suatu hukum darurat negara (Staatsnoodrecht).
Hal ini menginggat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan,
keselamatan serta keutuhan bangsa dan negara Repubik Indonesia.
Isi
Dekrit presiden 5 juli 1959 :
1)
Menetapkan pembubaran konstituante.
2)
Menetapkan Undang-Undang dasar 1945
berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia serta tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya
lagi Undang-Undang Dasar 1950.
3)
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta Dewan Pertimbangan
Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit ini diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka di hadapan rakyat
pada tanggal 5 juli 1959, pada hari minggu pukul 17.00 Dekrit tersebut dimuat
dalam keputusan Presiden No. 150 tahun 1959 dan di umumkan dalam lembaran Negara
Republik Indonesia No.75 tahun 1959.
b. Dinamika
Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Orde Lama (5 Juli
1959 – 11 Maret 1966).
Dikukuhkannya
ideologi Nasakom (Nasional Komunis), dipaksakannya doktrin Negara dalam keadaan
revolusi. Oleh karena revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai Kepala
Negara yang sekaligus juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi, diangkat menjadi
Pemimpin Besar Revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur hidup. Penyimpangan
ideologis maupun konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan
konstitusional lainnya sebagai berikut,
1. Demokrasi
di Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin, yang dipimpin oleh
presiden, sehingga praktis bersifat otoriter. Pada sebenarnya di negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila berazas-kan kerakyatan, sehingga
seharusnya rakyatlah sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan negara,
demikian juga sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
2. Oleh
karena Presiden sebagai pemimpin besar revolusi maka memiliki wewenang yang
melebihi sebagaimana yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan Undang-Undang tanpa melalui
persetujuan DPR dalam bentuk penetapan presiden.
3. Pada
tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang di ajukan oleh pemerintah. Kemudian presiden
waktu itu membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR
gotong royong. Hal ini jelas-jelas sebagai pelanggaran konstitusional
yaitu kekuasaan eksekutif di atas kekuasaan legislatif.
4. Pimpinan
lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yang berarti
sebagai pembantu presiden. Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih
banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan yang
seharusnya berdasarkan pada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang inskonstitusional
itulah maka berakibat pada ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi
terutama dalam bidang keamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama tersebut ditandai
dengan pemberontakan G30SPKI. dan pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh
rakyat Indonesia terutama oleh generasi muda. Dengan dipelopori oleh
pemuda, pelajar, dan mahasiswa rakyat Indonesia menyampaikan Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat) yang meliputi,
a.
Bubarkan PKI.
b.
Bersihkan kabinet dari unsur-unsur KPI.
c.
Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Gelombang
gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak mampu lagi
mengembalikannya ,maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966 yang memberikan
kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah dalam
mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah
sejarah ketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan Orde Baru.
c.
Dinamika Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Orde
Baru (11 Maret
1966 – 22 Mei 1998)
Masa
orde baru berada dibawah kepemimpinan Soeharto dalam misi mengembalikan keadaan
setelah pemberontakan PKI, masa orde baru juga mempelopori pembangunan nasional
sehingga sering dikenal sebagai orde pembangunan. Pada masa ini MPRS
mengeluarkan berbagai macam keputusan penting, antara lain :
1. Tap
MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera yang menyatakan agar presiden
menugasi pengemban Supersemar, Jenderal Soeharto untuk segera membentuk kabinet
Ampera.
2. Tap
MPRS No. XVII/MPRS/1966 yang dengan permintaan maaf, menarik kembali
pengangkatan pemimpin Besar Revolusi menjadi presiden seumur hidup.
3. Tap
MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum
republik Indonesia dan tata urutan perundang -undangan.
4. Tap
MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai penyederhanaan kepartaian, keormasan dan
kekaryaan.
5. Tap
MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran partai komunis Indonesia dan
pernyataan tentang partai tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah
Indonesia, dan larangan pada setiap kegiatan untuk menyebar luaskan atau
mengembangkan paham ajaran komunisme/Marxisme, Leninisme.
Pada
saat itu bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik yang menyangkut
bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yang demikian
inilah pada bulan Februari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitu
meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa pada bulan maret 1967. Sidang
istimewa tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut :
1.
Presiden Soekarno tidak dapat memenuhi
tanggungjawab konstitusional dan tidak menjalankan GBHN sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2.
Sidang menetapkan berlakunya TAP MPRS No.
XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/penunjukan wakil presiden dan tata cara
pengangkatan pejabat presiden dan mengangkat Jenderal Soeharto.
Pengembangan TAP MPRS No. 6 IX/MPRS/1966, sebagai pejabat
presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Pada
masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan
konsekuen, praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaan lembaga
tertinggi dan tinggi negara dibawah kekuasaan presiden tetapi seluruhnya hampir
dituangkan dalam mekanisme peraturan antara lain :
1.
UU No.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang
kedudukan DPR, MPR, DPRD.
2.
UU No.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol
dan golkar.
3.
UU No.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu.
Pada
masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam
berbagai bidang antara lain dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya maupun keamanan. Di bidang politik dilaksanakanlah pemilu
yang dituangkan dalam Undang-Undang No.15 tahun 1969 tentang
pemilihan umum, Undang-Undang No.16 tentang susunan dan kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut kemudian pemerintah Orde Baru
berhasil mengadakan pemilu pertama.
Pada
awalnya bangsa Indonesia memang merasakan perubahan peningkatan nasib bangsa
dalam berbagai bidang melalui suatu program negara yang dituangkan dalam
GBHN yang disebut Pelita (pembangunan lima tahun). Hal ini wajar dirasakan
oleh bangsa Indonesia karena sejak tahun 1945 setelah kemerdekaan
nasib bangsa Indonesia senantiasa dalam kesulitan dan kemiskinan.Namun
demikian lambat laun program-program negara buakannya diperuntukan kepada
rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah ambisi kekuasaan orde baru
menjalar keseluruh sandi-sandi kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Kekuasaan orde baru menjadi otoriter namun seakan-akan dilaksanakan secara
demokratis.
Penafsiran
dan penuangan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilaksanakan sesuai
dengan amanat sebagaimana tertuang dan terkandung dalam Undang-Undang Dasar
tersebut melainkan dimanipulasikan demi kekuasaan. Bahkan pancasila
pun diperalat demi legitimasi kekuasaan dan tindakan presiden.Hal ini
terbukti dengan adanya ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Tentang P-4 yang
dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde
baru. Realisasi UUD 1945 lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan
presiden. Walaupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian.
d. Dinamika
Pelaksanaan Uud 1945 Pada Masa Reformasi (22
Mei 1998 – Sekarang)
Masa
Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto sampai tahun 1998 membuat
pemerintahan Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi seperti yang
tercantum dalam Pancasila, bahkan juga tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi
atas dasar norma-norma dan pasal-pasal UUD 1945. Pemerintahan
dicemari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keadaan tersebut
membuat rakyat Indonesia semakin menderita. Terutama karena adanya krisis
moneter yang melanda Indonesia yang membuat perekonomian Indonesia hancur. Hal
itu menyebabkan munculnya berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh
generasi muda Indonesia terutama mahasiswa sebagai gerakan moral yang menuntut
adanya reformasi disegala bidang Negara.
Keberhasilan
reformasi tersebut ditandai dengan turunnya presiden Soeharto dari jabatannya
sebagai presiden dan diganti oleh Prof. B.J Habibie pada tanggal 21 mei 1998.
Kemudian bangsa Indonesia menyadari bahwa UUD 1945 yang berlaku
pada zaman orde baru masih memiliki banyak kekurangan, sehingga perlu
diadakan amandemen lagi. Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan dalam reformasi hukum antara lain UU. Politik Tahun 1999, yaitu
UU. No.2 tahun 1999, tentang partai politik, UU. No.3 tahun 1999, tentang
pemilihan umum dan UU. No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD; UU otonomi daerah, yaitu meliputi UU. No.25 tahun 1999. Tentang
pemerintahan daerah, UU. No.25 tahun 1999, tentang pertimbangan keuangan
antar pemerintahan pusat dan daerah dan UU. No.28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Berdasarkan
reformasi tersebut bangsa Indonesia sudah mampu melaksanakan pemilu pada tahun
1999 dan menghasilkan MPR, DPR dan DPRD hasil aspirasi rakyat secara
demokratis.
1.
Krisis Multidimensi dan Munculnya Reformasi
Krisis
moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai tukar rupiah. Hal itu
memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya fungsi institusi ekonomi
dalam mengatasi krisis tersebut. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya
krisis legitimasi kepercayaan atas pemerintahan Orde Baru yaitu krisis
kepercayaan pada bidang politik, bidang hukum, bidang sosial dan bidang
ekonomi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru makin
meningkat dengan diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia. Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun
1997, efek domino pun langsung mendera masyarakat Indonesia diberbagai lini.
Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, dan meningkatnya
pengangguran karena PHK menjadi permasalahan sosial yang krusial. Krisis
politik, krisis sosial, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde Baru
kemudian bermunculan sebagai reaksi pertama.
2.
Krisis Ekonomi
Krisis
ekonomi melanda Indonesia pada 1997, merupakan sebuah efek domino dari krisis
ekonomi Asia yang melanda berbagai Negara, seperti Thailand, Filipina, dan
Malaysia. Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak
1990-an.. barang-barang produksi Indonesia menjadi tidak memiliki daya saing
apabila dibandingkan dengan barang-barang luar negeri yang secara bebas
memasuki pasaran Indonesia. Oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong
berhasil apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank Dunia.
Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi di
bidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia,
rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya
stabilitas dan kredibilitas politik.. adanya krisis moneter ditandai dengan
rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat korupsi di
instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian
Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% pada 1998.
3.
Krisis Sosial
Kerusuhan
sistematis yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia pada 13-14 Mei 1998,
menjadi bukti dari adanya pergesekan sosial antar masyarakat. Munculnya
berbagai kerusuhan horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi
sentralistik yang menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi
antara pusat dan daerah.
4.
Krisis Politik
Proses
aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan
demikian, proses penyaluran aspirasi rakyat pun terhambat. Segala peraturan
yang dibentuk oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang,
melainkan semata-mata bertujuan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan para
oknum-oknum tertentu. Selain itu, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
telah mengakar kuat didalam tubuh birokrasi pemerintahan. Unsur legislatif yang
sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan
haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Kondisi ini
memicu munculnya kondisi status quo
yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elit
politik maupun masyarakat yang mulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan
Orde baru.
5.
Kelebihan
dan Kekurangan pada Masa Reformasi
Kelebihan
– Kelebihan Pada Masa Reformasi
-
Munculnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya reformasi bagi bangsa Indonesia.
-
Kebebasan berpendapat kembali ditegakkan.
-
Pengurangan masalah Dwi Fungsi ABRI dalam
pemerintahan.
-
Melakukan reformasi hukum dan
perundang-undangan di Indonesia.
-
Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
-
Sektor sosial politik Indonesia menjadi
terbuka.
-
Pemilu yang tadinya hanya dapat diikuti oleh
3 parpol saja sekarang dapat diikuti
oleh 48 parpol melalui seleksi.
-
Kekakuan hukum masa Orde Baru menjadi
terpecah atau mulai lenyap.
-
Pemerintah memikirkan masalah sosial yang
dialami masyarakat dengan mewujudkan program membentuk lapangan pekerjaan bagi
pengangguaran.
-
Corak karya sastra menjadi lebih berwarna dan
banyak jenisnya sesuai dengan kondisi sosial-politik saat itu.
-
Pemublikasian karya sastra menjadi lebih
mudah dan terbantu karena adanya media komunikasi.
Kekurangan – Kekurangan Pada Masa Reformasi
o Adanya
perpecahan presepsi antara mahasiswa dan kelompok masyarakat mengenai
pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden.
o Tidak
adanya pemberian subsidi terhadap masyarakat.
o Keputusan
reformasi ekonomi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan
masyarakat.
o Terlalu
dibebani oleh program penyesuaian structural dari IMF.
o Posisi
militer tidak mendapat tempat yang cukup baik dihati masyarakat.
o Penanganan
masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal karena konflik politik
internal dalam negeri.
o Adanya
krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia.
o Pemerintah
hanya terfokus pada perbaikan ekonomi.
o Kurangnya
minat para pembaca pada karya sastra angkatan reformasi
BAB
III
ISI
MASALAH

Bisnis.com,JAKARTA-- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK) meminta Presiden Joko Widodo tak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait
rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tengah bergulir di DPR.
Miko Ginting, peneliti PSHK mengatakan secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres). Keberadaan Surpres merupakan syarat dari kaidah prosedural sebelum pembahasan suatu RUU antara Presiden dengan DPR dimulai.
"Jika Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, secara jelas berarti Presiden telah mengambil sikap tidak menyetujui RUU ini dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," ujar Miko, Minggu (11/10/2015).
Miko mengatakan materi yang terdapat dalam RUU perubahan UU KPK kental dengan nuansa pelemahan dan bahkan dapat berujung pada pembubaran. Apabila RUU ini disahkan, KPK harus dibubarkan dalam waktu 12 tahun ke depan, dan beberapa pemangkasan kewenangan lainnya.
Lebih jauh ia mengatakan, revisi UU KPK kembali menjadi momen pembuktian sikap Presiden Joko Widodo. Setelah dalam beberapa kali upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi sebelumnya, Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan sikap dan keberpihakan yang jelas. Secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
Menurut Miko, berdasarkan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Sedangkan pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres. "Artinya, tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan," ujarnya lagi.
Miko berharap, Jokowi bisa menyampaikan sikap tegas penolakan atas rencana revisi UU KPK itu dalam pertemuan antara Presiden dan Pimpinan DPR yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Tanpa keberpihakan yang tegas dari Presiden Jokowi, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin lemah dan perjuangan untuk mencapai Indonesia yang bebas korupsi akan semakin berat.
Editor : Mia Chitra Dinisari
Miko Ginting, peneliti PSHK mengatakan secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres). Keberadaan Surpres merupakan syarat dari kaidah prosedural sebelum pembahasan suatu RUU antara Presiden dengan DPR dimulai.
"Jika Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, secara jelas berarti Presiden telah mengambil sikap tidak menyetujui RUU ini dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," ujar Miko, Minggu (11/10/2015).
Miko mengatakan materi yang terdapat dalam RUU perubahan UU KPK kental dengan nuansa pelemahan dan bahkan dapat berujung pada pembubaran. Apabila RUU ini disahkan, KPK harus dibubarkan dalam waktu 12 tahun ke depan, dan beberapa pemangkasan kewenangan lainnya.
Lebih jauh ia mengatakan, revisi UU KPK kembali menjadi momen pembuktian sikap Presiden Joko Widodo. Setelah dalam beberapa kali upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi sebelumnya, Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan sikap dan keberpihakan yang jelas. Secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
Menurut Miko, berdasarkan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Sedangkan pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres. "Artinya, tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan," ujarnya lagi.
Miko berharap, Jokowi bisa menyampaikan sikap tegas penolakan atas rencana revisi UU KPK itu dalam pertemuan antara Presiden dan Pimpinan DPR yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Tanpa keberpihakan yang tegas dari Presiden Jokowi, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin lemah dan perjuangan untuk mencapai Indonesia yang bebas korupsi akan semakin berat.
Editor : Mia Chitra Dinisari
Pembahasan Masalah
Permasalahan kehidupan
pemeritah saat ini menjadi perbincangan hangat dikehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini menjelaskan keterkaitan kerjasama antara lembaga pemerintah
dalam proses pembuatan UU yang tidak berkoordinasi. Ini merupakan salah satu
bentuk penyimpangan dari proses dinamika pelaksanaan UUD 1945. Penyimpangan
tersebut terlihat dari adanya pelaksanaan UUD 1945 yang tidak dijalankan saat
proses pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
( RUU KPK ).
Dalam pasal 20 ayat (2)
dikatakan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam hal ini RUU KPK yang diajukan kepada presiden sama sekali
tidak mendapat respon dari presiden hal ini tampak pada belum dikeluarkannya
Surpres, surpres ini sendiri adalah awal untuk mengadakan pembahasan bersama mengenai
RUU antara presidan dan DPR. Dengan belum dikeluarkannya surpres oleh presiden
menjelaskan lemahnya kekuatan terhadap keputusan yang diambil, hal ini tentu
saja akan berdampak pada kegiatan KPK.
Masalah belum
dikeluarkannya surpres ini karena akan berdampak nantinya terhadap KPK yakni
apabila presiden mengeluarkan surpres maka artinya presiden menyetujui RUU yang
diajukan oleh DPR hal ini tentu saja dapat
berujung pada pembubaran KPK. Oleh karena itu masalah belum
dikeluarkannya surpres oleh presiden diakibatkan karena kekhawatiran presiden
terhadap pelemahan kedudukan dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Hal ini dapat
menjelaskan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan UUD 1945 dalam masa reformasi
sekarang ini. Penyimpangan ini mengingat dalam proses pengambilan keputusan
bersama. Penyimpangan ini juga melanggar UU nomor 12 tahun 2011 pasal 49 dan 50
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang tersebut
dijelaskan adanya koordinasi kepala pemerintahan baik DPR maupun Presiden.
Rancangan undang-undang yang akan dibuat haruslah berdasarkan asas kesepakatan
bersama sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut. Dalam
hal ini RUU dari DPR disampaikan kepada presiden kemudian presiden menunjuk
menteri dalam melakukan pembahasan RUU. namun karena RUU ini tidak ada
kesepakatan bersama yakni ditunjukan pada belum dikeluarkannya surpres oleh
presiden maka RUU ini tidak boleh lagi
diajukan dalam persidangan DPR artinya
tidak ada revisi terhadap RUU KPK.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
UUD
1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam Negara dan menjadi
hukum dasar tertulis Negara, yang bersifat mengikat dan berisi aturan yang
harus ditaati oleh setiap warga Negara.
Pada
awal masa Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan, Sistem
pemerintahan berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Pada tahun ini di
bentuklah DPA sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena
harus melalui pemilu. Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan
pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang
Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah
komite nasional.” Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi
Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
Pelaksanaan
UUD 1945 pada masa Orde Baru masih terjadi banyak penyimpangan meskipun telah
dilakukan berbagai upaya oleh MPRS untuk mengatasinya yakni salah satunya
dengan mengeluarkan TAP MPRS dan sidang istimewa yang dilakukan oleh MPRS.
Pelaksanaan
dinamika UUD 1945 pada orde reformasi masih banyak penyimpangan yang terjadi
karena pada masa ini belum semua UUD 1945 dilaksanakan dan masih adanya
korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga memunculkan orde krisis ekonomi,
krisis sosial, krisis politik dan krisis hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon di koment ya....