Rabu, 14 Desember 2016

Batang Tubuh dan Dinamika Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Batang Tubuh dan Dinamika Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945



Kelompok 3:
Fujima Tindaon                                            J3Z414002
Matius Leo Fernando Siahaan                    J3Z414012
                  A Septianto                                                    J3Z414018






300px-Logo_IPB.svg.png



PROGRAM KEAHLIAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015




BAB I

1.        Latar belakang
        Undang-Undang Dasar 1945 merupakan keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Pembukaan terdiri dari 4 Alinea. Pasal-pasal terdiri dari 16 Bab, Bab I sampai dengan Bab XVI, pasal 1 sampai dengan pasal 37. Setelah amandemen IV, UUD 1945 terdiri dari 20 Bab, Bab I sampai dengan Bab XVI (Bab IV dihapus), dan 72 pasal, Pasal 1 sampai dengan Pasal 37, ditambah dengan 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Pembukaan dan Pasal-pasal merupakan satu kesatuan. Disamping hukum dasar tertulis, di Negara Indonesia juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu konvensi sebagai kebiasaan yang hidup dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan kenegaraan.
        Sebagai hukum dasar tertulis UUD 1945 mengikat: Pemerintah, Lembaga Negara, Lembaga Masyarakat, setiap Warga Negara Indonesia, dan setiap Penduduk yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia.
UUD 1945 bukan hukum biasa melainkan hukum dasar yang merupakan sumber hukum yang tertinggi, sehingga seluruh hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 terbentuk melalui sejarah yang amat panjang melalui pasang surutnya kejayaan bangsa dan masa-masa penderitaan penjajahan, dan masa-masa perjuangan untuk merdeka, menentukan sendiri hidup dan masa depannya.
        UUD 1945 untuk pertama kalinya diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945, naskahnya pertama kali dimuat secara resmi dalam Berita Negara yaitu Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7 tanggal 15 Februari 1946. 
 Pengertian UUD
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lainnya. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu Negara. UUD disebutkan bersifat singkat dan super karena hanya memuat 37 pasal adapun pasal-pasal yang lain, hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini bermakna :
a.    UUD 1945 hanya memuat aturan pokok, memuat GBHN intruksi kepala pemerintahan pusat dan lain-lain untuk menyelenggarakan Negara.
b.    Sifatnya yang super atau elastis maksudnya senantiasa harus ingat bahwa masyarakat harus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Memang sifat aturan yang tertulis semakin supel sifat aturannya semakin baik agar tidak ketinggalan zaman.

2.        Tujuan Penulisan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Pembukaan UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 bersama – sama dengan pasal – pasal UUD 1945, disahkan oleh PPKI pada tanggal  18 Agustus 1945, dan diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II NO.7.
Pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat alinea, pada bagian alinea  IV memuat pernyataan mengenai keadaan setelah Negara Indonesia terbentuk dan memiliki hubungan yang bersifat kausal dan organis dengan pasal – pasal UUD 1945.
Hubungan tersebut menyangkut beberapa hal, antara lain :
a.       Undang – undang Dasar ditentukan akan ada
b.      Yang diatur dalam UUD adalah tentang pembentukan pemerintahan Negara
c.       Negara Indonesia adalah bentuk Republik yang berkedaulatan Rakyat
d.      Ditetapkannya Pancasila sebagai dasar falsafat Negara Indonesia
Hal – hal tersebut “ bersifat fundamental dan asasi bagi Negara Indonesia, sehingga Pembukaan UUD 1945 berkedudukan tetap dan tidak dapat diubah “

2.2   Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
a.      Dinamika Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Awal Kemerdekaan (17 Agustus 1945 – 29 Desember 1949)
Pada masa awal kemerdekaan UUD 1945 belum dapat dijalankan sebagaimana yang diatur mengingat kondisi lembaga negara yang masih belum tertata dengan baik. Faktor lainnya adalah UUD 1945 masih sangat sederhana karena dibuat dalam waktu yang sangat singkat kurang lebih 49 hari oleh BPUPKI pada 29 Mei-16 Juli 1945 dan PPKI tanggal 18 Agustus. Pada tahun ini di bentuklah DPA sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus melalui pemilu. Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.”
Pada saat itu terjadilah suatu perkembangan ketatanegaraan indonesia yaitu : berubahnya fungsi Komite Nnasional Indonesia Pusat (KNIP) dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini berdasarkan maklumat wakil presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Selain itu dikeluarkan juga maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945. Yang isinya perubahan sistem pemerintahan negara dari sistem Kabinet Presidensial menjadi sistem Kabinet Parlementer, berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Akibat perubahan tersebut pemerintah menjadi tidak stabil, Perdana Menteri hanya bertahan beberapa bulan serta berulang kali terjadi pergantian.
Tanggal 3 November 1945 di keluarkan juga suatu maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden yang isinya tentang pembentukan partai politik. Hal ini bertujuan agar berbagai aliran yang ada didalam masyarakat dapat di arahkan kepada perjuangan untuk memperkuat mempertahankan dengan persatuan dan kesatuan.
Sejak tanggal 14 November 1945 kekuasaan pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, perdana menteri atau para menteri itu bertanggung jawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, dan tidak bertanggung jawab kepada presiden sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945. Hal ini berakibat semakin tidak stabilnya Negara Republik Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan,  maupun keamanan. Semangat ideologi liberal itu kemudian memuncak dengan dibentuknya Negara Federal yaitu negara kesatuan Republik Indonesia Serikat dengan berdasar pada konstitusi RIS, pada tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi RIS tersebut sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda. Syukurlah konstitusi itu tidak berlangsung lama dan Indonesia kembali bersatu pada tahun 1950. Dalam negara RIS tersebut masih terdapat negara bagian Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta. Kemudian terjadilah suatu persetujuan antara Negara RI Yogyakarta dengan negara RIS yang akhirnya membuahkan kesepakatan untuk kembali membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara sejak 17 agustus 1950 isi UUDS ini berbeda dengan UUD 1945 terutama dalam sistem pemerintahan negara yaitu menganut sistem Parlementer, sedangkan UUD 1945 menganut sistem Presidensial.
Tugas konstituante adalah untuk membentuk, menyusun Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang dasar yang baru ditentukan pada pasal 137 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.      Untuk mengambil putusan tentang rancangan Undang-Undang Dasar baru sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir.
2.      Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
3.      Rancangan yang telah diterima oleh konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh pemerintah.
4.      Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan  Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.
 Pada kenyataannya konstituante selama dua tahun  bersidang belum mampu menghasilkan suatu keputusan tentang Undang-Undang Dasar  yang baru. Hal ini dikarenakan dalam sidang konstituante , muncullah suatu usul untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam pembukaan UUD baru. Oleh karena itu Presiden pada tanggal 22 april 1959 memberikan pidatonya didepan sidang Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan suatu alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu. Terutama setelah lebih dari separuh anggota Konstituante menyatakan untuk tidak akan menghadiri sidang lagi.
Atas dasar kenyataan tersebut maka Presiden mengeluarkan suatu dekrit yang didasarkan pada suatu hukum darurat negara (Staatsnoodrecht). Hal ini menginggat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan, keselamatan serta keutuhan bangsa dan negara Repubik Indonesia.
Isi Dekrit presiden 5 juli 1959 :
1)      Menetapkan pembubaran konstituante.
2)      Menetapkan Undang-Undang dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia serta tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1950.
3)      Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dekrit ini diumumkan oleh Presiden dari Istana Merdeka  di hadapan rakyat pada tanggal 5 juli 1959, pada hari minggu pukul 17.00 Dekrit tersebut dimuat dalam keputusan Presiden No. 150 tahun 1959 dan di umumkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia No.75 tahun 1959.

b.      Dinamika Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966).
Dikukuhkannya ideologi Nasakom (Nasional Komunis), dipaksakannya doktrin Negara dalam keadaan revolusi. Oleh karena revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai Kepala Negara yang sekaligus juga sebagai Pemimpin Besar Revolusi, diangkat menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur hidup. Penyimpangan ideologis maupun konstitusional ini berakibat pada penyimpangan-penyimpangan konstitusional lainnya sebagai berikut,
1.      Demokrasi di Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin, yang dipimpin oleh presiden, sehingga praktis bersifat otoriter. Pada sebenarnya di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila berazas-kan kerakyatan, sehingga seharusnya rakyatlah sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan negara, demikian juga sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
2.      Oleh karena Presiden sebagai pemimpin besar revolusi maka memiliki wewenang yang melebihi sebagaimana yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan Undang-Undang tanpa melalui persetujuan DPR dalam bentuk penetapan presiden.
3.      Pada tahun 1960, karena DPR tidak  dapat menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang di ajukan oleh pemerintah. Kemudian presiden waktu itu membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR gotong royong. Hal ini jelas-jelas sebagai pelanggaran konstitusional yaitu kekuasaan eksekutif di atas kekuasaan legislatif.
4.      Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yang berarti sebagai pembantu presiden. Selain penyimpangan-penyimpangan tersebut masih banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan ketatanegaraan yang seharusnya berdasarkan pada UUD 1945. Karena pelaksanaan yang inskonstitusional itulah maka berakibat pada ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi terutama dalam bidang keamanan. Puncak dari kekuasaan Orde Lama tersebut ditandai dengan pemberontakan G30SPKI. dan pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh rakyat Indonesia terutama oleh generasi muda. Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa rakyat Indonesia menyampaikan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi,
a.       Bubarkan PKI.
b.      Bersihkan kabinet dari unsur-unsur KPI.
c.       Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
Gelombang gerakan rakyat semakin besar, sehingga presiden tidak mampu lagi mengembalikannya ,maka keluarlah surat perintah 11 maret 1966 yang memberikan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah dalam mengembalikan keamanan negara. Sejak peristiwa inilah sejarah ketatanegaraan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan Orde Baru.

c.       Dinamika Pelaksanaan UUD 1945 Pada Masa Orde Baru  (11 Maret 1966 – 22 Mei 1998)
Masa orde baru berada dibawah kepemimpinan Soeharto dalam misi mengembalikan keadaan setelah pemberontakan PKI, masa orde baru juga mempelopori pembangunan nasional sehingga sering dikenal sebagai orde pembangunan. Pada masa ini MPRS mengeluarkan berbagai macam keputusan penting, antara lain :
1.      Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera yang menyatakan agar presiden menugasi pengemban Supersemar, Jenderal Soeharto untuk segera membentuk kabinet Ampera.
2.      Tap MPRS No. XVII/MPRS/1966 yang dengan permintaan maaf, menarik kembali pengangkatan pemimpin Besar Revolusi menjadi presiden seumur hidup.
3.      Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum republik Indonesia dan tata urutan perundang -undangan.
4.      Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai penyederhanaan kepartaian, keormasan dan kekaryaan.
5.      Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran partai komunis Indonesia dan pernyataan tentang partai tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah Indonesia, dan larangan pada setiap kegiatan untuk menyebar luaskan atau mengembangkan paham ajaran komunisme/Marxisme, Leninisme.
Pada saat itu bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yang demikian inilah pada bulan Februari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitu meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa pada bulan maret 1967. Sidang istimewa tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut :
1.      Presiden Soekarno tidak dapat memenuhi tanggungjawab konstitusional dan tidak menjalankan GBHN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Sidang menetapkan berlakunya TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/penunjukan wakil presiden dan tata cara pengangkatan pejabat presiden dan mengangkat Jenderal Soeharto. Pengembangan TAP MPRS No. 6  IX/MPRS/1966, sebagai pejabat presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. 
Pada masa orde baru ini (1967-1997) pelaksanaan UUD 1945 belum juga murni dan konsekuen, praktis kekuasaan presiden tidak secara langsung kekuasaan lembaga tertinggi dan tinggi negara dibawah kekuasaan presiden tetapi seluruhnya hampir dituangkan dalam mekanisme peraturan antara lain :
1.      UU No.16/1969 dan UU no.5/1975 tentang kedudukan DPR, MPR, DPRD.
2.      UU No.3/1975 dan UU no.3/1985 tentang parpol dan golkar.
3.      UU No.15/969 dan UU no.4/1975 tentang pemilu.
Pada masa awal kekuasaan Orde Baru berupaya untuk memperbaiki nasib bangsa dalam berbagai bidang antara lain dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan. Di bidang politik dilaksanakanlah pemilu yang dituangkan dalam Undang-Undang No.15 tahun 1969 tentang pemilihan umum, Undang-Undang No.16 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Atas dasar ketentuan undang-undang tersebut kemudian pemerintah Orde Baru berhasil mengadakan pemilu pertama.
Pada awalnya bangsa Indonesia memang merasakan perubahan peningkatan nasib bangsa dalam berbagai bidang melalui suatu program negara yang dituangkan dalam GBHN yang disebut Pelita (pembangunan lima tahun). Hal ini wajar dirasakan oleh bangsa Indonesia karena sejak tahun 1945 setelah kemerdekaan nasib bangsa Indonesia senantiasa dalam kesulitan dan kemiskinan.Namun demikian lambat laun program-program negara buakannya diperuntukan kepada rakyat melainkan demi kekuasaan. Mulailah ambisi kekuasaan orde baru menjalar keseluruh sandi-sandi kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Kekuasaan orde baru menjadi otoriter namun seakan-akan dilaksanakan secara demokratis.
Penafsiran dan penuangan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tidak dilaksanakan sesuai dengan amanat sebagaimana tertuang dan terkandung dalam Undang-Undang Dasar  tersebut melainkan dimanipulasikan demi kekuasaan. Bahkan pancasila pun diperalat demi legitimasi kekuasaan dan tindakan presiden.Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Tentang P-4 yang dalam kenyataannya sebagai media untuk propaganda kekuasaan orde baru. Realisasi UUD 1945 lebih banyak memberikan porsi atas kekuasaan presiden. Walaupun sebenarnya UUD 1945 tidak mengamanatkan demikian.

d.      Dinamika Pelaksanaan Uud 1945 Pada Masa Reformasi (22 Mei 1998 – Sekarang)
Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto sampai tahun 1998 membuat pemerintahan Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi seperti yang tercantum dalam Pancasila, bahkan juga tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi atas dasar norma-norma dan pasal-pasal UUD 1945. Pemerintahan dicemari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Keadaan tersebut membuat rakyat Indonesia semakin menderita. Terutama karena adanya krisis moneter yang melanda Indonesia yang membuat perekonomian Indonesia hancur. Hal itu menyebabkan munculnya berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh generasi muda Indonesia terutama mahasiswa sebagai gerakan moral yang menuntut adanya reformasi disegala bidang Negara.
Keberhasilan reformasi tersebut ditandai dengan turunnya presiden Soeharto dari jabatannya sebagai presiden dan diganti oleh Prof. B.J Habibie pada tanggal 21 mei 1998. Kemudian bangsa Indonesia menyadari bahwa UUD 1945 yang berlaku pada zaman orde baru masih memiliki banyak kekurangan, sehingga perlu diadakan amandemen lagi. Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dalam reformasi hukum antara lain UU. Politik Tahun 1999, yaitu UU. No.2 tahun 1999, tentang partai politik, UU. No.3 tahun 1999, tentang pemilihan umum dan UU. No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU otonomi daerah, yaitu meliputi UU. No.25 tahun 1999. Tentang pemerintahan daerah, UU. No.25 tahun 1999, tentang pertimbangan keuangan antar pemerintahan pusat dan daerah dan UU. No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Berdasarkan reformasi tersebut bangsa Indonesia sudah mampu melaksanakan pemilu pada tahun 1999 dan menghasilkan MPR, DPR dan DPRD hasil aspirasi rakyat secara demokratis.

1.      Krisis Multidimensi dan Munculnya Reformasi
Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai tukar rupiah. Hal itu memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya fungsi institusi ekonomi dalam mengatasi krisis tersebut. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi kepercayaan atas pemerintahan Orde Baru yaitu krisis kepercayaan pada bidang politik, bidang hukum, bidang sosial dan bidang ekonomi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru makin meningkat dengan diangkatnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997, efek domino pun langsung mendera masyarakat Indonesia diberbagai lini. Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran karena PHK menjadi permasalahan sosial yang krusial. Krisis politik, krisis sosial, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde Baru kemudian bermunculan sebagai reaksi pertama.

2.                  Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi  melanda Indonesia pada 1997, merupakan sebuah efek domino dari krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai Negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak 1990-an.. barang-barang produksi Indonesia menjadi tidak memiliki daya saing apabila dibandingkan dengan barang-barang luar negeri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank Dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi di bidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan kredibilitas politik.. adanya krisis moneter ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat korupsi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% pada 1998.


3.                  Krisis Sosial
Kerusuhan sistematis yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia pada 13-14 Mei 1998, menjadi bukti dari adanya pergesekan sosial antar masyarakat. Munculnya berbagai kerusuhan horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi sentralistik yang menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi antara pusat dan daerah.

4.                  Krisis Politik
Proses aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan demikian, proses penyaluran aspirasi rakyat pun terhambat. Segala peraturan yang dibentuk oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang, melainkan semata-mata bertujuan untuk memenuhi keinginan dan kepentingan para oknum-oknum tertentu. Selain itu, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah mengakar kuat didalam tubuh birokrasi pemerintahan. Unsur legislatif yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Kondisi ini memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elit politik maupun masyarakat yang mulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan Orde baru.

5.                   Kelebihan dan Kekurangan pada Masa Reformasi                  
Kelebihan – Kelebihan Pada Masa Reformasi
-        Munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya reformasi bagi bangsa Indonesia.
-        Kebebasan berpendapat kembali ditegakkan.
-        Pengurangan masalah Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan.
-        Melakukan reformasi hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
-        Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
-        Sektor sosial politik Indonesia menjadi terbuka.
-        Pemilu yang tadinya hanya dapat diikuti oleh 3 parpol saja sekarang dapat   diikuti oleh 48 parpol melalui seleksi.
-        Kekakuan hukum masa Orde Baru menjadi terpecah atau mulai lenyap.
-        Pemerintah memikirkan masalah sosial yang dialami masyarakat dengan mewujudkan program membentuk lapangan pekerjaan bagi pengangguaran.
-        Corak karya sastra menjadi lebih berwarna dan banyak jenisnya sesuai dengan kondisi sosial-politik saat itu.
-        Pemublikasian karya sastra menjadi lebih mudah dan terbantu karena adanya media komunikasi.
Kekurangan – Kekurangan Pada Masa Reformasi
o   Adanya perpecahan presepsi antara mahasiswa dan kelompok masyarakat mengenai pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden.
o   Tidak adanya pemberian subsidi terhadap masyarakat.
o   Keputusan reformasi ekonomi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat.
o   Terlalu dibebani oleh program penyesuaian structural dari IMF.
o   Posisi militer tidak mendapat tempat yang cukup baik dihati masyarakat.
o   Penanganan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal karena konflik politik internal dalam negeri.
o   Adanya krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia.
o   Pemerintah hanya terfokus pada perbaikan ekonomi.
o   Kurangnya minat para pembaca pada karya sastra angkatan reformasi







BAB III
ISI MASALAH
Screenshot_2015-10-14-11-16-13.png
Bisnis.com,JAKARTA-- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta Presiden Joko Widodo tak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tengah  bergulir di DPR.
            Miko Ginting, peneliti PSHK mengatakan secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres). Keberadaan Surpres merupakan syarat dari kaidah prosedural sebelum pembahasan suatu RUU antara Presiden dengan DPR dimulai.
            "Jika Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, secara jelas berarti Presiden telah mengambil sikap tidak menyetujui RUU ini dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," ujar Miko, Minggu (11/10/
2015).
            Miko mengatakan materi yang terdapat dalam RUU perubahan UU KPK kental dengan nuansa pelemahan dan bahkan dapat berujung pada pembubaran. Apabila RUU ini disahkan, KPK harus dibubarkan dalam waktu 12 tahun ke depan, dan beberapa pemangkasan kewenangan lainnya.
            Lebih jauh ia mengatakan, revisi UU KPK kembali menjadi momen pembuktian sikap Presiden Joko Widodo. Setelah dalam beberapa kali upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi sebelumnya, Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan sikap dan keberpihakan yang jelas. Secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi  (RUU KPK).
            Menurut Miko, berdasarkan pasal 20 ayat (2) UUD
1945 menyatakan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Sedangkan pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres. "Artinya, tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan," ujarnya lagi.
            Miko berharap, Jokowi bisa menyampaikan sikap tegas penolakan atas rencana revisi UU KPK itu dalam pertemuan antara Presiden dan Pimpinan DPR yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Tanpa keberpihakan yang tegas dari Presiden Jokowi, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin lemah dan perjuangan untuk mencapai Indonesia yang bebas korupsi akan semakin berat.

                                                                        Editor : Mia Chitra Dinisari




Pembahasan Masalah
Permasalahan kehidupan pemeritah saat ini menjadi perbincangan hangat dikehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjelaskan keterkaitan kerjasama antara lembaga pemerintah dalam proses pembuatan UU yang tidak berkoordinasi. Ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari proses dinamika pelaksanaan UUD 1945. Penyimpangan tersebut terlihat dari adanya pelaksanaan UUD 1945 yang tidak dijalankan saat proses pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( RUU KPK ).
Dalam pasal 20 ayat (2) dikatakan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam hal ini RUU KPK  yang diajukan kepada presiden sama sekali tidak mendapat respon dari presiden hal ini tampak pada belum dikeluarkannya Surpres, surpres ini sendiri adalah awal untuk mengadakan pembahasan bersama mengenai RUU antara presidan dan DPR. Dengan belum dikeluarkannya surpres oleh presiden menjelaskan lemahnya kekuatan terhadap keputusan yang diambil, hal ini tentu saja akan berdampak pada kegiatan KPK.
Masalah belum dikeluarkannya surpres ini karena akan berdampak nantinya terhadap KPK yakni apabila presiden mengeluarkan surpres maka artinya presiden menyetujui RUU yang diajukan oleh DPR hal ini tentu saja dapat  berujung pada pembubaran KPK. Oleh karena itu masalah belum dikeluarkannya surpres oleh presiden diakibatkan karena kekhawatiran presiden terhadap pelemahan kedudukan dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Hal ini dapat menjelaskan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan UUD 1945 dalam masa reformasi sekarang ini. Penyimpangan ini mengingat dalam proses pengambilan keputusan bersama. Penyimpangan ini juga melanggar UU nomor 12 tahun 2011 pasal 49 dan 50 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan adanya koordinasi kepala pemerintahan baik DPR maupun Presiden. Rancangan undang-undang yang akan dibuat haruslah berdasarkan asas kesepakatan bersama sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tersebut. Dalam hal ini RUU dari DPR disampaikan kepada presiden kemudian presiden menunjuk menteri dalam melakukan pembahasan RUU. namun karena RUU ini tidak ada kesepakatan bersama yakni ditunjukan pada belum dikeluarkannya surpres oleh presiden maka  RUU ini tidak boleh lagi diajukan dalam persidangan DPR  artinya tidak ada revisi terhadap RUU KPK.
BAB IV
PENUTUP

1.      Kesimpulan
UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam Negara dan menjadi hukum dasar tertulis Negara, yang bersifat mengikat dan berisi aturan yang harus ditaati oleh setiap warga Negara.
Pada awal masa Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan, Sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan. Pada tahun ini di bentuklah DPA sementara, sedangkan DPR dan MPR belum dapat dibentuk karena harus melalui pemilu. Waktu itu masih di berlakukan pasal aturan peralihan pasal IV yang menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.” Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
Pelaksanaan UUD 1945 pada masa Orde Baru masih terjadi banyak penyimpangan meskipun telah dilakukan berbagai upaya oleh MPRS untuk mengatasinya yakni salah satunya dengan mengeluarkan TAP MPRS dan sidang istimewa yang dilakukan oleh MPRS.
Pelaksanaan dinamika UUD 1945 pada orde reformasi masih banyak penyimpangan yang terjadi karena pada masa ini belum semua UUD 1945 dilaksanakan dan masih adanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga memunculkan orde krisis ekonomi, krisis sosial, krisis politik dan krisis hukum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon di koment ya....